
Saat dalam kuliah tahap
akhir dan menjelang pembuatan skripsi, salah seorang dosen yang
bertugas menjadi dosen pembimbing sekaligus penguji skripsi
mewanti-wanti kami para mahasiswanya agar membuat skripsi dengan serius.
Salah satu yang paling ditekankannya adalah jangan sampai melakukan
kecurangan intelektual seperti melakukan copy paste tanpa mencantumkan
sumbernya atau tindakan plagiat terhadap karya-karya orang lain.
Sang dosen menceritakan pengalamannya saat harus tidak meluluskan
seorang mahasiswa karena ketahuan membuat skripsi secara serampangan
yaitu ditunjukkan dengan mengutip pendapat para ahli yang berasal dari
buku yang dibuat oleh ahli tersebut, namun sang mahasiswa tidak
membacanya langsung dari buku, melainkan mengutip dari jurnal yang
mengutip pendapat para ahli tersebut. Apalagi dalam pengutipan dalam
skripsi tersebut tidak disebutkan ia mengutip dari jurnal yang dibuat
oleh orang lain. Di daftar pustaka juga tercantum judul buku dan
pengarangnya dimana kutipan awalnya berasal, selain juga mencantumkan
jurnal tempat ia mengutip pendapat tersebut.
Saat sidang pengujian skripsi, sang dosen yang sudah membaca buku dan
juga jurnal yang menjadi salah satu referensi skripsi mahasiswa tersebut
mengajukan pertanyaan sangat sederhana namun tidak bisa dijawab oleh
mahasiswa tadi. Yang ditanya adalah: “Apa warna sampul atau cover dari
buku yang dikarang ahli tersebut, yang didalamnya terdapat pendapat yang
dikutip di dalam skripsi.” Sang mahasiswa gelagapan dan menjadi panik
tak menduga akan ada pertanyaan seperti itu. Ia pun tidak bisa
menjawabnya. Hal ini memancing dosen penguji lainnya untuk bertanya
lebih mendalam terkait proses pembuatan skripsi.
Akhirnya si mahasiswa mengaku bahwa Ia tidak pernah membaca buku yang
dimaksud. Pendapat yang dikutipnya dalam skripsi berasal dari jurnal
yang dibacanya. Ia pun mengaku salah tidak seharusnya berbuat demikian,
apalagi mencantumkan buku tersebut sebagai salah satu referensi dalam
daftar pustaka skripsi yang dibuatnya. Para dosen penghuji pun sepakat
memutuskan mahasiswa tersebut dinyatakan gagal dalam sidang skripsi
karena telah melakukan kecurangan intelektual. Secara sepintas memang
terlihat kesalahannya sepele, namun sang dosen mengatakan bahwa hal itu
tidak bisa mereka tolerir karena menunjukkan tindakan tidak jujur dalam
membuat suatu karya ilmiah.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/amirsyahoke/ketahuan-plagiat-tidak-lulus-sidang-skripsi_5529de366ea834be56552d16
Saat dalam kuliah tahap akhir dan menjelang pembuatan skripsi, salah seorang dosen yang bertugas menjadi dosen pembimbing sekaligus penguji skripsi mewanti-wanti kami para mahasiswanya agar membuat skripsi dengan serius. Salah satu yang paling ditekankannya adalah jangan sampai melakukan kecurangan intelektual seperti melakukan copy paste tanpa mencantumkan sumbernya atau tindakan plagiat terhadap karya-karya orang lain.Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/amirsyahoke/ketahuan-plagiat-tidak-lulus-sidang-skripsi_5529de366ea834be56552d16
Sang dosen menceritakan pengalamannya saat harus tidak meluluskan seorang mahasiswa karena ketahuan membuat skripsi secara serampangan yaitu ditunjukkan dengan mengutip pendapat para ahli yang berasal dari buku yang dibuat oleh ahli tersebut, namun sang mahasiswa tidak membacanya langsung dari buku, melainkan mengutip dari jurnal yang mengutip pendapat para ahli tersebut. Apalagi dalam pengutipan dalam skripsi tersebut tidak disebutkan ia mengutip dari jurnal yang dibuat oleh orang lain. Di daftar pustaka juga tercantum judul buku dan pengarangnya dimana kutipan awalnya berasal, selain juga mencantumkan jurnal tempat ia mengutip pendapat tersebut.
Saat sidang pengujian skripsi, sang dosen yang sudah membaca buku dan juga jurnal yang menjadi salah satu referensi skripsi mahasiswa tersebut mengajukan pertanyaan sangat sederhana namun tidak bisa dijawab oleh mahasiswa tadi. Yang ditanya adalah: “Apa warna sampul atau cover dari buku yang dikarang ahli tersebut, yang didalamnya terdapat pendapat yang dikutip di dalam skripsi.” Sang mahasiswa gelagapan dan menjadi panik tak menduga akan ada pertanyaan seperti itu. Ia pun tidak bisa menjawabnya. Hal ini memancing dosen penguji lainnya untuk bertanya lebih mendalam terkait proses pembuatan skripsi.
Akhirnya si mahasiswa mengaku bahwa Ia tidak pernah membaca buku yang dimaksud. Pendapat yang dikutipnya dalam skripsi berasal dari jurnal yang dibacanya. Ia pun mengaku salah tidak seharusnya berbuat demikian, apalagi mencantumkan buku tersebut sebagai salah satu referensi dalam daftar pustaka skripsi yang dibuatnya. Para dosen penghuji pun sepakat memutuskan mahasiswa tersebut dinyatakan gagal dalam sidang skripsi karena telah melakukan kecurangan intelektual. Secara sepintas memang terlihat kesalahannya sepele, namun sang dosen mengatakan bahwa hal itu tidak bisa mereka tolerir karena menunjukkan tindakan tidak jujur dalam membuat suatu karya ilmiah.
Saat dalam kuliah tahap
akhir dan menjelang pembuatan skripsi, salah seorang dosen yang
bertugas menjadi dosen pembimbing sekaligus penguji skripsi
mewanti-wanti kami para mahasiswanya agar membuat skripsi dengan serius.
Salah satu yang paling ditekankannya adalah jangan sampai melakukan
kecurangan intelektual seperti melakukan copy paste tanpa mencantumkan
sumbernya atau tindakan plagiat terhadap karya-karya orang lain.
Sang dosen menceritakan pengalamannya saat harus tidak meluluskan
seorang mahasiswa karena ketahuan membuat skripsi secara serampangan
yaitu ditunjukkan dengan mengutip pendapat para ahli yang berasal dari
buku yang dibuat oleh ahli tersebut, namun sang mahasiswa tidak
membacanya langsung dari buku, melainkan mengutip dari jurnal yang
mengutip pendapat para ahli tersebut. Apalagi dalam pengutipan dalam
skripsi tersebut tidak disebutkan ia mengutip dari jurnal yang dibuat
oleh orang lain. Di daftar pustaka juga tercantum judul buku dan
pengarangnya dimana kutipan awalnya berasal, selain juga mencantumkan
jurnal tempat ia mengutip pendapat tersebut.
Saat sidang pengujian skripsi, sang dosen yang sudah membaca buku dan
juga jurnal yang menjadi salah satu referensi skripsi mahasiswa tersebut
mengajukan pertanyaan sangat sederhana namun tidak bisa dijawab oleh
mahasiswa tadi. Yang ditanya adalah: “Apa warna sampul atau cover dari
buku yang dikarang ahli tersebut, yang didalamnya terdapat pendapat yang
dikutip di dalam skripsi.” Sang mahasiswa gelagapan dan menjadi panik
tak menduga akan ada pertanyaan seperti itu. Ia pun tidak bisa
menjawabnya. Hal ini memancing dosen penguji lainnya untuk bertanya
lebih mendalam terkait proses pembuatan skripsi.
Akhirnya si mahasiswa mengaku bahwa Ia tidak pernah membaca buku yang
dimaksud. Pendapat yang dikutipnya dalam skripsi berasal dari jurnal
yang dibacanya. Ia pun mengaku salah tidak seharusnya berbuat demikian,
apalagi mencantumkan buku tersebut sebagai salah satu referensi dalam
daftar pustaka skripsi yang dibuatnya. Para dosen penghuji pun sepakat
memutuskan mahasiswa tersebut dinyatakan gagal dalam sidang skripsi
karena telah melakukan kecurangan intelektual. Secara sepintas memang
terlihat kesalahannya sepele, namun sang dosen mengatakan bahwa hal itu
tidak bisa mereka tolerir karena menunjukkan tindakan tidak jujur dalam
membuat suatu karya ilmiah.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/amirsyahoke/ketahuan-plagiat-tidak-lulus-sidang-skripsi_5529de366ea834be56552d16
Sumber : http://www.kompasiana.com/amirsyahoke/ketahuan-plagiat-tidak-lulus-sidang-skripsi_5529de366ea834be56552d16
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/amirsyahoke/ketahuan-plagiat-tidak-lulus-sidang-skripsi_5529de366ea834be56552d16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar